Jakarta.Radarinvestigasi.com||Dalam kasus Ronald Tannur, menyalahkan hakim atau MA semata bukanlah pandangan yang adil. Semua APH termasuk pemerintah harus melakukan introspeksi. Kepolisian, kejaksaan, korps kehakiman, dan advokat semua harus turut berbenah.
Kasus hukum yang melibatkan Gregorius Ronald Tannur, anak dari mantan anggota DPR yang diduga terlibat dalam pembunuhan pacarnya, Dini Sera Afrianti, cukup menguras perhatian publik. Kasus ini semakin menjadi sorotan setelah beberapa tokoh dari lembaga peradilan ikut terjerat masalah hukum.
Ada tiga hakim di Pengadilan Negeri Surabaya yang menjadi tersangka, yakni Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo karena diduga menerima suap dan gratifikasi terkait kasus Ronald Tannur. Tersangka lain lainnya adalah advokat bernama Lisa Rahmat, yang diduga memberi suap kepada ketiga hakim tersebut.
Kemudian mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) bernama Zarof Ricar (ZR) juga diduga terlibat dan ikut ditangkap. Dalam penggeledahan di rumahnya, ditemukan uang hampir mencapai Rp1 triliun serta emas batangan seberat 51 kilogram.
Menyoroti kasus ini, Ketua Umum Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia (DePA-RI), Luthfi Yazid, mengatakan seorang klien yang memiliki masalah hukum pasti akan bercerita kepada pengacaranya, dan tugas advokat yang baik adalah mendengarkan apa yang disampaikan kliennya, lalu memetakan persoalan hukumnya, memberikan analisis hukum dan memberikan solusi-solusi hukum yang berpatokan pada prinsip kebenaran dan keadilan.
“Sebagai profesi yang mulia, advokat harus berpegang teguh pada nilai-nilai ini,” ucapnya dalam keterangan pers yang diperoleh Hukumonline, Minggu (3/11).
Menurut Luthfi, kasus ini menarik perhatian publik dan media karena tiga faktor utama. Pertama, kasus ini terkuak di saat para hakim sebelumnya melakukan aksi mogok nasional demi menuntut peningkatan kesejahteraan. Sebagai bentuk solidaritas, mereka juga mendatangi Kemenkumham, Mahkamah Agung, dan DPR RI untuk menyuarakan aspirasinya.
Dalam kasus Ronald Tannur, menyalahkan hakim atau MA semata bukanlah pandangan yang adil. Semua APH termasuk pemerintah harus melakukan introspeksi. Kepolisian, kejaksaan, korps kehakiman, dan advokat semua harus turut berbenah.
Kedua, baru-baru ini MA mengangkat Prof. Sunarto sebagai Ketua Mahkamah Agung (KMA) yang baru, di mana harapan besar ditumpukan pada dirinya untuk memperbaiki integritas dan tata kelola di lembaga peradilan tertinggi ini. “Apakah KMA yang baru akan sanggup mengatasi persoalan dan kemelut yang ada saat ini?” tanya Luthfi.
Ketiga, dia menyoroti jumlah uang yang ditemukan dalam penangkapan para tersangka, termasuk uang hampir Rp1 triliun di rumah mantan pejabat MA, Zarof Ricar.
“Sebab itu tidaklah heran manakala banyak tuntutan agar kejadian ini dijadikan momentum untuk membasmi mafia peradilan dan mewujudkan keadilan untuk semua. Harapan ini ditumpukan kepada KMA yang baru untuk melakukan gebrakan luar biasa dan zero tolerance terhadap korupsi,” tambahnya.
Selain itu, dia mengingatkan bahwa menyalahkan hakim atau MA semata bukanlah pandangan yang adil. Semua Aparat Penegak Hukum (APH) termasuk pemerintah, kata dia, harus melakukan introspeksi. Kepolisian, kejaksaan, korps kehakiman, dan advokat semua harus turut berbenah.
Menurutnya, Komisi Yudisial (KY) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kurang ‘bergigi’, juga harus menjadikan peristiwa ini sebagai pelajaran sangat mahal dan segera melakukan ‘total football reparation’ atau pembenahan total.
“Khusus KPK, 10 calon komisioner KPK dan 10 orang calon Dewan Pengawas KPK yang belum diuji-kelayakan oleh DPR RI harus segera diseleksi. Mereka mesti dipilih yang memiliki rekam jejak serta integritas yang tidak cacat. DPR harus memilih calon yang berintegritas dan terbaik dari mereka. DPR juga harus terbebas dari kepentingan politik partisipan dalam melakukan pemilihan,” ucapnya.
Adapun korupsi di kalangan APH bukan hal baru, dengan contoh kasus melibatkan beberapa tokoh seperti advokat OC Kaligis, jaksa Pinangki Sirna Malangsari, dan mantan pejabat kepolisian Jenderal (Purn) Joko Susilo. Dia menegaskan pentingnya kode etik dan amanah konstitusi untuk menciptakan negara hukum yang berkeadilan. Dalam Pasal 28D ayat 1 UUD 1945, dia mengingatkan, keadilan adalah bagian esensial dari kepastian hukum.
Kepada seluruh pengurus dan anggota DePA-RI, Luthfi berpesan agar senantiasa menjaga integritas dan kepercayaan masyarakat dan dirinya berharap agar kedepan tidak terulang lagi kasus-kasus serupa sebagaimana dialami advokat senior OC Kaligis, Jaksa Pinangki Sirna Malangsari, Polisi Jend (P) Joko Susilo, Mantan Kabareskrim Jend (P) Suyitno Landung, Mantan Sekretaris MA Nurhadi, Hasbi Hasan, mantan Hakim Agung Gazalba Saleh dan hakim agung Sudrajad Dimyati.
“Tegakkan keadilan bagi siapa pun, kapan pun, dan dimanapun,” pungkasnya. (Red)